Banjir: Air dan Kapitalisme

By 3 tahun lalu 5 menit membaca
Truk terjebak banjir di jalan raya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur (ANTARA FOTO/Umarul Faruq/aww)

“Jala bahule srustinasa, jala bihune srustinasa (Terlalu banyak atau terlampau sedikit air akan merusak dunia),” demikian kata pepatah Oriya.

Bertolak dari pepatah itu, Vandana Shiva, tokoh Feminis sekaligus aktivis lingkungan asal India menegaskan bahwa “Air adalah kehidupan, tapi terlalu banyak atau terlalu sedikit air akan menjadi ancaman terhadap kehidupan.”

Dua kutub ekstrem ini menjadi biang bencana –krisis air, di satu sisi menjadi momok yang selalu menghantui, di mana hajat hidup manusia tak bisa lepas dengannya. Keberlimpahan air yang tak proporsional, semisal banjir, juga menjadi kegetiran masyarakat ketika musim penghujan. Karena banjir seringkali menimbulkan dampak bencana.

Di daerah-daerah tertentu, terlebih dataran rendah yang menjadi hulu aliran air selalu dihantui oleh dampak banjir yang sering kali menimbulkan kerugian ekonomi. Pasar di tutup, petani gagal panen, rumah rusak dan lingkungan ikut tercemar. Belum lagi kerugian non ekonomi (sosial); semisal kesehatan, banjir bisa menjadi penyebab munculnya wabah malaria, atau juga gejala-gejala psikologis semisal trauma, turut menyuplai deretan masalah yang cukup pelik.

Bencana banjir juga menyejarah. Pada jaman behaula banjir menjadi salah satu aktor pemusnah massal. Kisah tentang Nabi Nuh dan Wisnu Purana adalah kisah tentang banjir ‘mistis’ yang menyapu habis kehidupan di planet ini.

Negara seperti Indonesia, menjadi lahan basah bencana banjir ketika memasuki musim penghujan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor salah satunya pola tata ruang yang terus menyempitkan alur aliran air, seperti drainase, deforestasi hutan sebagai lahan serapan alami menjadi penyumbang yang tergolong lekat terhadap krisis ekologis, dan puncaknya karena massifnya kerusakan alam. Asas persoalan ini terletak pada apa yang jauh-jauh hari yang disebut Prijof Capra sebagai “krisis paradigmatik”. Krisis ini sebagai arketipe nafsu manusia untuk terus mendominasi dan menundukkan alam di bawah duli rakusnya, tanpa peduli bagaimana keberlanjutannya. Alam menjadi objek kuasa untuk dieksploitasi sebesar-besarnya. Jiwa kapitalisme mereduksi alam hanya sebatas nilai ekonomi semata.

Dalam skop lokal, nasib sial menimpa sebagian wilayah Kabupaten Probolinggo. Di kecamatan Dringu, beberapa pekan lalu sempat geger. Banjir menerjarah rumah-rumah warga. Tanggul sungai jebol karena tak mampu menampung debit air yang lebih dari kapasitasnya. Lalu, banjir menerobos rumah-rumah warga sekitar. Ditengah guyuran air hujan warga bergotong royong membersihkan rumah-rumah. Bahkan sebagian dari mereka harus rela meninggalkan rumah dan mengungsi ke daerah yang lebih aman.

Pemuda setempat seperti Bambang Mudiarto (diwawancara, 13/03/21), terpaksa tak dapat penghasilan karena bengkel tempat dia kerja mangkrak akibat banjir.

Belum lagi di kota besar seperti Jakarta. Banjir, seakan menjadi hidangan rutin tahunan. Menjadi kejadian yang sudah kaprah. Hal itu berjalin kelindan dengan sikap manusia itu sendiri, yang kemudian efeknya merembet pada kelompok tertentu yang memang rentan terhadap gejala tersebut.

Di Kalimantan Selatan, pertengahan Januari lalu harus menanggung kenyataan pahit akibat banjir ini. Sebagian besar wilayah Kabupaten/Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Banjar, Tanah Laut, Barito Kuala, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong terendam banjir. Dalam kejadian itu dinyatakan 21 jembatan rusak bahkan dua jembatan antar provinsi roboh.

Laporan media massa (KOMPAS,18-20/01/21) misalnya, menyebutkan lebih 10.000 rumah terendam, dengan ketinggian air cukup variatif antara kisaran 0,5 hingga 3 meter. 21 orang dinyatakan korban meninggal dunia, sebanyak 342.987 orang terdampak. Dan kurang lebih 11 Kabupaten harus gigit jari karena gagal panen.

Di Kalimantan, kemarin kita lihat bagaimana pemerintah menyebut curah hujan yang tinggi menjadi pemicu terjadinya banjir. Lagi-lagi, ambivalensi tampil di sini. Karena bagaimanapun, iklim yang ekstrem tidak lahir sebagai sesuatu yang given, yang datangnya dari langit. Sudah jamak penelitian menyebutkan, global warming, efek rumah kaca, perambahan hutan/alih fungsi lahan menjadi serentetan pemicunya.

Air dan Tangan-tangan Kapitalisme

Neoliberalisme disebut sebagai “kapitalisme tanpa sarung tangan,” suatu sikap yang berkelit dari unsur demokratik dan organisasi telah merembesi dunia ketiga. Laissez faire: dengan gagasan pasar sebagai über allies-nya (pasar di atas segalanya), menjadi senjata kaum berduit, perusahaan-perusahan transnasional (Transnational Corporations) untuk mengeksploitasi sumberdaya alam secara gila-gilaan.

Dalam bukunya, Water Wars, Vandana Shiva cukup jeli melihat lingkaran persoalan air ini. Dia dengan lantang bersuara berkampanye memprotes semangat neo-liberalisme global, yang dalam kasus India, menjadi pemicu masalah krisis air.

Neoliberalisme dikuduskan dan tak boleh diganggu gugat sehingga tak ada gagasan ekonomi alternatif lain dalam penyelesaiannya. One size fits all menafikan pluralitas kebijakan ekonomi.

Melalui tangan-tangannya, Unholy Trinity; WTO, IMF, World Bank, merepresi kebijakan-kebijakan negara-negara Selatan. Ekspansi dan penjarahan terhadap lingkungan menciptakan kesenjangan dan ketakseimbangan alam yang memicu terjadinya anomali cuaca.

Menurut Shiva, selain menciptakan lebih banyak banjir dan badai tsunami, perubahan iklim juga memperparah kekeringan dan gelombang panas. “Terlalu banyak atau terlalu sedikit air sama-sama menciptakan ancaman terhadap kelangsungan kehidupan.” Pengaruh paling dramatis dari pemanasan global adalah pencairan bukit es dan gletser.

Dalam hal ini komunitas ilmiah dan hampir semua pemerintahan sependapat bahwa krisis mencairnya bukit-bukit es di daerah kutub akhir-akhir ini secara ekologis berkaitan dengan model ekonomi yang menggunakan bahan bakar minyak dan polusi udara. Yang disinyalir Shiva, daratan salju di kutub utara telah berkurang sekitar 10 persen selama tiga dekade terakhir.

Banjir (ataupun krisis air), yang menjadi korban utama adalah masyarakat miskin.

Orang-orang miskin di Dunia Ketiga adalah pihak yang paling banyak menderita karena perubahan iklim, kekeringan, pencairan gletser, dan kenaikan permukaan air laut. Masyarakat pantai, misalnya, menghadapi risiko banjir bandang yang tinggi karena perubahan iklim ini.

Apa yang dikatakan Shiva, apakah air menjadi ancaman atau penopang kehidupan akan sangat bergantung pada kemampuan gerakan keadilan iklim untuk mengakhiri polusi udara dan untuk memaksa negara-negara dan korporasi agar bertindak dalam batas-batas tanggung jawab ekologis.

Hutan-hutan, misalnya, yang menjadi lahan resapan air secara alami tak lagi dipandang sebagai komunitas hidup. Mereka terlalu mereduksi ketika menjadikan hutan sekedar tambang kayu yang menghasilkan nominal uang.

Perlindungan terhadap sumber-sumber daya vital tidak hanya dapat dilakukan melalui logika pasar. Perlindungan itu menuntut pemulihan atas sakralitasnya dan pemulihan hak-hak orang awam.

Sekali lagi, merekalah yang paling rentan mengalami dampak terhadap aktivitas yang eksploitatif tersebut. Titik.

Penulis : Sholehuddin (Alumni PP. Nurul Jadid Paiton)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banjir: Air dan Kapitalisme - PENA9
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%