PENA9.COM — Menyadari pentingnya pendanaaan organisasi, pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Tiris Barat, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, akan menggerakkan iuran bulanan (i’anah syahriyah).
I’anah syahriyah ini diatur di dalam Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD-ART) Nahdlatul Ulama, sehingga menjadi kewajiban bagi pengurus dan anggota NU.
Penggalian pendanaan i’anah sudah digalakkan sejak era muassis Nahdlatul Ulama’. Namun sempat mengalami kendala karena rendahnya keterlibatan pengurus dan anggota NU dalam memberikan i’anah.
Rendahnya keterlibatan warga NU dalam memberikan i’anah disinyalir sejak NU menjadi partai politik. Pada saat itu, orientasi kepengurusan berada pada tingkat cabang, karena disanalah seseorang bisa menduduki jabatan DPRD sedangkan tingkat Majelis Wakil Cabang atau setingkat kecamatan dan ranting atau setingkat desa menjadi lemah.
Upaya MWCNU Tiris Barat dalam menggalakkan kembali i’anah merupakan langkah untuk memfasilitasi kewajiban pengurus dan anggotanya. Dengan adanya i’anah diharapkan NU bisa mandiri baik secara administrasi, organisasi dan pendanaan. Berikut petikan wawancara pena9.com dengan Ustad Imron Hamzah, Ketua Tanfidziyah MWCNU Tiris Barat, Jumat (26/03).
Apa yang mendorong MWCNU Tiris Barat menerapkan program i’anah?
Pertama kita harus sadar bahwa sebagai pengurus Nahdlatul Ulama (NU) kita punya kewajiban membayar iuran atau i,anah setiap bulan. Kewajiban ini berdasarkan AD-ART NU. Dan kewaajiban ini tidak mengikat nominalnya, disesuaikan dengan kemampuan dari pengurus warga NU itu sendiri. Misalkan hanya bisa membayar i’anah 5 ribu atau 10 ribu atau jika mampu sampai bayar 100 ribu itu tidak apa-apa. Itu yang dimaksud dengan nominalnya tidak mengikat. Kedua, bahwa i’anah ini bermula dari cerita bawa ketika kiai Ridwa Abdullah berkonsultasi kepada kiai Hasyim Asy’ari terkait lambang NU, maka kiai Hasyim Asy’ari menyuruh kiai Ridwa Abdulah untuk memminta saran kepada kiai Nawawi bin Nurhasan Sidogiri. Dan berangkatlah beliau ke Sidogiri. Sebenarnya ada dua misi kiai Ridwan Abdullah. Pertama, konsultasi terkait lambang NU dan mengajak kiai Nawawi untuk bergabung di kepengurusan PBNU waktu itu. Jawaban beliau tarkait la’bang NU beliau manut Kiai Hasyim. Dan beliau menambahkan ayat Al-Quran, wa’tasimi bihablillahi jamiau wala tafarroqu. Supaya NU punya persatuan yang kuat. Selanjutnya ayat itu di filosofikan dengan lambang Tali yang mengelilingi bumi di logo NU. Dan ketika sampai pada misi yang kedua, mengajak kiai Nawawi untuk gabung di NU, singkat cerita, akhirnya kiai Nawawi bersedia dengan syarat semua pengurus NU iuran atau ianah. Syarat yang diajukan oleh kiai Nawawi disampaikanlah kepada kiai Hasyim Asy’ari. Dan dalam waktu itu pula kewajiban i’anah syahriyha bagi pengurus atau anggota NU diterapkan namun nominalnya tidak mengika disesuaikan dengan kemampuan pengurus. Dua hal tersebut yang mendorong MCNU Tiris Barat menerapkan i’anah. Jadi, bagi pengurus yang belum membayar i’anah ketika nanti sudah dijalankan, maka dia harus bingung, karena menunda i’anah berarti kewajibannya belum ditunaikan. Karna i’nah ini adalah sebuah kewajiban sebagai pengurus maka MWCNU Tiris Barat hanya memfasilitasi saja.
Bagaimana model penarikannya?
Kami membentuk Korwil (koordinator wilayah). Sebanyak 3 wilayah akan ditangani oleh 3 orang yang bertugas menarik i’anah di MWCNU Tiris Barat. Meliputi wilayah barat, tengah dan timur. Jadi seluruh pengurus akan di tarik oleh petugas di setiap rumah masing-masing. Dan akan kami sediakan kartu i’anah seluruh pengurus MWCNU. Hasil kerja dari penarikan i’anah akan dikumpulkan pada waktu lailatul ijtima’.
Dana i’anah yang terkumpul akan diproyeksikan dalam bentuk kegiatan apa saja, apakah termasuk kegiatan sosial?
Akan diproyeksikan ketika ada event-event besar di NU. Supaya tidak bingung lagi dalam soal urusan dana. Karna kita sudah punya dana i’anah. Karna lembaga-lembaga di MWCNU itu seluruh pendanaan programnya adalah kewajiban MWCNU. Misalkan ada program pelatihan, sesungghnya seluruh pendanaannya itu disupport dari MWC. Karna lembaga itu bukan Banom. Karna kondisi keungan masih kaleng kosong, maka dana support dari MWC belum seberapa. Dengan adanya program i’anah maka kita bisa membiayai semua program dari semua lembaga. Sedangkan untuk kegiatan sosial seperti santunan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, di MWCNU Tiris Barat sudah ada program Koin NU. Jadi Koin NU itu dikhususkan untuk kegiatan sosial dan kemasyarakatan. LAZISNU MWCNU Tiris Barat melalui program Koin NU pos-nya ke sana. Sedangkan untuk i’anah dikhususkan untuk kegiatan di MWC.
Dengan menggalakkan i’anah, apa termasuk dari upaya untuk kemandirin di tubuh NU?
Iya. Ini dalam rangka kemandirian. Kami punya plening untuk menghadapi satu abad Nahdlatul Ulama ini bagaimana di MWCNU Tiris Barat ini bisa madiri administrasi, mandiri organisasi, dan mandiri dalam segi pendanaan. Kita akan berbuat sesuai dengan yang digariskan oleh muassis. Jadi ketika mandiri sudah tidak ada pertimbangan ini, pertimbangan itu. Kita bisa melangkah sesuai yng digariskan oleh mussis. Jika memang betul-betul mandiri, jalan dan gerak NU itu sekuat tenaga tegak lurus mengikuti atura-aturan muassis, terutama AD-ART.
Bagaimana pandangan kedepan terkait program i’anah?
Program i’anah akan diterapkan juga ke ranting-ranting, sebanyak 8 ranting di wilayah MWCNU Tiris Barat. Karna ranting harus kuat administrasi, kuat organissi dan kuat dalam segi pendanaan.
Kapan i’anah akan dioperasikan?
Pada malam Selasa (29/03) yang akan datang bersaman dengan malam lailatul ijtima. Kegiatan rutinan bulanan yang akan dihadiri oleh semua pengurus lembaga dan banom. Tim yang bertugas penarikan dana i’anah akan dikukuhkan. Setelah pengukuhan kami akan start. Jadi bulan April sudah diterapkan.
Reporter: Hadi
Tinggalkan Balasan