Maron, sekira jam 20-an lebih Waktu Indonesia Barat (WIB), media sosial riuh dengan kabar duka. Wall di WhatsApp grup (WAG) seketika pula menjadi sesak dengan ucapan istirja’.
Rupanya tanggal 22.02.2022 yang disebut sebagai tanggal cantik mengabarkan berita yang tak cantik. Melainkan berita pilu atas kehilangan seorang kiyai yang jadi panutan jamak masyarakat: KH. Nadjib Miad Imaduddin, pengasuh pondok pesantren Lubbul Labib, Kedungsari Maron telah kepundut.
Mautul ‘alim, mautul ‘alam. Matinya seorang ulama menjadi sebentuk isyarat matinya alam semesta. Kematian mereka menjadikan pasak bumi ada yang gumpil. Ilmu yang bisa menjadi sinar bagi umat manusia akan terangkat ikut kemana ruh pemilik ilmu itu berlabuh. Sebegitu pula halnya KH Nadjib.
Mas Nadjib, begitu sapaan akrabnya, adalah putra pertama dari 6 bersaudara. Beliau lahir dari pasangan KH. Miad Imaduddin dengan Ny. Hj. Jamilah binti KH Ahmad Qusyairi. Sejak KH Miad Imaduddin wafat pada tahun 2005 silam, persis kepemimpinan pondok dinakodai oleh mas Nadjib selaku putra sulung. Selama kurang lebih 17 tahun di bawah kepemimpinan beliau, pesantren Lubbul Labib cukup berkembang pesat.
Dalam perjalanan keilmuan, mas Nadjib menimba ilmu di pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan. Jika dirunut, beliau masih dzurriyah pesantren yang didirikan oleh Sayyid Sulaiman itu. Di sini beliau mondok kurang lebih 4 tahun.
Selama hidupnya, mas Nadjib dikaruniai 5 putra putri, yang merupakan buah cinta pernikahan beliau dengan Ny. Hj. Zulfa purti KH. Dhofir bin KH Nawawi Shodir dari Pajarakan. Putra pertama meninggal sejak kecil, sedangkan putra bungsu beliau, mas Nur Hasan, masih menuntut ilmu di negri wali, Tarim, Hadramaut. Mas Nur Hasan ini putra satu-satunya yang tidak sempat melihat wajah sang ayah secara langsung.
Dengan kesibukannya sebagai pimpinan puncak pesantren, mas Nadjib juga melakukan syiar dengan berdakwah secara langsung ke masyarakat. Beliau selalu hadir memenuhi undangan masyarakat untuk mengisi pengajian. Dalam kondisi kurang sehat pun, selama fisik beliau masih mampu untuk menopang, kiai mas Nadjib dapat dipastikan hadir ke acara tersebut. Dalam sautu kesempatan saat penulis sowan di dalemnya beliau sempat berujar “Mun tak hadir niser ke masyarakat kare ngundang” (kalau tidak hadir kasihan ke masyarakat sudah kadung mengundang). Begitu dawuhnya.
Menurut pengakuan beberapa santrinya, mas Nadjib suka ngaji kitab tafsir Jalalain. Sebuah kitab tafsir standard pesantren-pesantren yang dikarang oleh dua ulama kenamaan, yakni guru dan murid, bernama Jalauddin al-mahalli, lalu disempurnakan oleh Jalaluddin as-suyuthi selaku muridnya.
Selama hidup, mas Nadjib merupakan figur kiai yang dikenal tegas. Beliau tak segan untuk menindak jika diketahui ada santri lalai terhadap kewajiban agama seperti salat.
Suatu ketika ada kejadian seorang santri ngecat menyambut haflatul imtihan. Sabut saja namanya Ahmad Faiz. Santri yang bersangkutan mengecat kamar kala itu hingga larut malam. Dirasa sudah capek, ia bersama temannya rehat sejanak, tapi tanpa sengaja mereka ketiduran. Meski hanya dengan alas sederhana dengan tubuh berlumuran cat, tidur begitu memanjakan mereka. Hingga subuh pun tiba mereka tetap terlelap pulas. Suara toa di mesjid jami’ pesantren tak mampu membujuk mereka untuk bangun.
Detik terus berputar tanpa mau kompromi. Ufuk di arah timur makin cerah. Tanda-tanda matahari hendak bersinar makin mendekati. Kepulasan mereka tak dapat diganggu gugat sebab sebegitu capeknya. Tak ada seseorang pun yang membangunkannya. Ujug-ujug KH Nadjib yang istiqamah mengimami shalat subuh agak terkejut ada santri yang masih pulas. Dengan semerta-merta baliau ambil bakiaknya. Sejurus kemudian “gubraak!!” bakiak melayang melabrak pintu kamar mereka. “Paningah se ambueh pas ambueh kiah abejeng” (mentang-mentang sudah mau berhenti, shalatnya juga mau berhenti). Sekonyong-konyong santri bersangkutan langsung kelabakan. Mereka lalu berbenah diri untuk shalat di akhir-akhir waktu subuh.
Meski demikian, beliau dikenal dengan figur kebapakan. Mas Nadjib tidak segan-segan menyapa santri sekaligus menanyakan dari mana asalnya, siapa bapaknya dan semacamnya. Kesan ini yang terngiang oleh Faizah yang sekarang sudah jadi alumni.
Dalam lingkungan keluarga dhalem, kiyai mas Nadjib di sebagai sosok yang dermawan. Hal ini terekam kuat oleh Gus Abdul Karim Mahmud, salah satu keponakan beliau. “Aba itu orangnya bijak dan sangat Loman (dermawan, red)” begitu akunya gus yang kini tahfidz al-Qur’an ini. (SHOL)
Tinggalkan Balasan