Bicara NU tidak melulu bicara soal agama. ‘Agama’ merupakan ujung tombak dari senarai misi NU yang membuntut di belakangnya. Tilas sejarah mencatat hal ini.
Nahdlatul Wathan (NW) berdiri tahun 1916, Nahdlatut Tujjar (NT) tahun 1918, Taswirul Afkar (TA) tahun 1922 merupakan tiga organisasi embrional lahirnya Nahdlatul Ulama’ (NU). Jika melihat kronik sejarah, terutama NT terbentuk searas dengan zeitgeist, yakni spirit zaman ketika itu.
Sejak diberlakukan sistem liberal yang menghapus cultuurstelsel (sistem tanam paksa) tahun 1870, Hindia Belanda tidak betul-betul mengalami peningkatan taraf hidup. Soe Hok Gie menyebut “justru ini mendatangkan malapetaka bagi rakyat”. Sebabnya, liberalisme tak lebih dari “free fight competition to exploit Indonesia”.
Di kitaran tahun Perang Dunia I, seperti juga direkam oleh Shiraishi atau Ricklefs, Hindia Belanda pun terkena getahnya. Di tanah jajahan ini terjadi goncangan ekonomi.
Ricklefs menyebut anggaran belanja militer kolonial meningkat sedangkan anggaran belanja untuk kesejahteraan dikuraingi. Harga barang seperti beras, naik. Otomatis kesejahteraan rakyat makin melorot ke lembah kemelaratan.
Fenomena ini dapat dirunut ke belakang. Yakni blue print kebijakan ekonomi kolonial, tampil melayani permintaan pasar (demand) global seperti; gula, kopi, kapas dll. Sistem liberal makin memperparah itu. Sehingga secara otomatis tanah perkebunan makin ekspansif dan mempersempit lahan persawahan. Situasi ini turut diperparah dengan sulitnya akses internasional untuk menyuplai kebutuhan pangan akibat perang.
Dalam buku Sekitar Nahdlatut Tujjar disebut bahwa motif terbentuknya NT adalah kesadaran atas nasib masyarakat. Situasi sosial yang buruk adalah fait accompli NT. Ia muncul sebagai partisipasi aktif dalam ikhtiar mengangkat taraf hidup masyarakat yang urgen.
Dalam deklarasinya menyinggung sekolah-sekolah sekuler Belanda sesak, sedangkan kepedulian kaum Islam atas pendidikan sangat minim. Hal ini karena lemahnya modal ekonomi yang dimiliki masyarakat bawah.
Ada 3 kritik yang ditabalkan NT. Pertama, adanya Tajarrud (sikap enggan mencari nafkah karena mengandalkan takdir semata-mata) padahal mereka belum mampu.
Kedua, apatisme kaum muslimin terhadap lingkungan sekitar dengan dalih ‘takut timbul fitnah’ yang seolah menampilkan aspek kedalaman tasawuf, padahal praktek ini luput peletakannya. Ketiga, adalah egoisme atau megalomania dengan mengangap tak perlu adanya musyawarah sehingga tak membentuk sebuah perkumpulan atau organisasi. Dalam kasus ketiga ini masyhur diktum imam Ali ra.
الحق بلا نظام يغلبه الباطل بالنظام
(kebenaran selama tidak teroganisir dengan baik akan kalah pada kebatilan tapi teroganisir dengan rapi.)
Berangkat dari sini KH. Wahab Chasbullah, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisyri Sansuri dll. mawas akan urgensi terbentuknya jamiah (organisasi). Tujuannya agar ulama tak hanya berada di menara gading keilmuannya.
Jika ditarik ke ideologi sunni, NU tidak menafikan adanya kasb (upaya). Hal ini menjadi titik balik polemik Qodiriyah yang menafikan taqdir dan Jabariyah yang determinis. Konsep kasb merupakan jalan tengah dua pertentangan aliran di atas. Artinya, antara keyakinan taqdir harus proposional dengan segenap “ikhtiar” manusia. NT (sebagai embrio NU) bagi ulama merupakan media yang bisa menjadi kendaraan kekuatan ekonomi sebagai fait accompli ketika itu.
Jelasnya, ‘kemandirian ekonomi’ memiliki basis pijak agama yang dapat di runut pada hadis Nabi saw. Dalam deklarasinya, NT menukil hadits yang mensinyalir bahwa “orang yang mencari harta yang halal agar tak meminta-minta dan berusaha demi keluarganya dan supaya berbagi dengan tetangganya, maka nanti akan bertemu Allah dalam keadaan wajah bersinar seperti bulan purnama”.
Beranjak dari topik di atas, KH. Achyat Chalimi memiliki cara yang cukup unik dalam upaya memandirikan ekonomi NU. Dalam buku Cermin Bening Dari Pesantren, menyebut kiai Achyat yang masih terhitung santri KH Hasyim Asy’ari ini menjabat syuriah PCNU Mojokerto sekira 1960an.
Dalam aktifitasnya sebagai pimpinan beliau rajin turba ke segenap ranting. Betapa senangnya tuan rumah-tuan rumah dikunjungi seorang panutan. Uniknya, bagai sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui atau sekali tepuk dua tiga lalat mati, beliau tidak sebatas turba. Kiyai Achyat juga memberikan bibit-bibit kelapa secara gratis ke seganap pengurus ranting.
“Bibit ini harap ditanam. Jika nanti sudah berbuah, buah pertama untuk yang menanam, buah kedua untuk ranting NU, buah ketiga untuk MWC NU”. Pesan kiyai Achyat seperti yang ditulis dalam buku itu.
Hal ini sepintas tampak sepele. Namun di balik itu semua terkandung nilai-nilai yang perlu ditelaah oleh generasi zaman sekarang.
Komentar seorang santri yang sering ikut turba dan belakangan jadi menantunya, KH. Abdy Manaf, menyebut praktek kiyai Achyat adalah membuka gerbang kemandirian NU. Juga, dari sini upaya kemandirian ekonomi warga nahdliyin juga dapat terlaksana.
“Coba bayangkan, setiap satu pohon memiliki berpuluh-puluh buah. Setelah dibagi, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha warga Nahdliyin”. Begitu ujar kiyai Manaf, seperti dinukil dari buku yang ditulis gus Rijal Mumazziq Z. yang sekarang jadi Rektor INAIFAS, Kencong, Jember ini.
Linier sebenarnya, NU sebagai organisasi memiliki basis massa di kawasan periferal atau pedesaan. Kesadaran potensi ekonomi masyarakat tak bisa dicerabut dari akar sosio-geografisnya. Praktek yang dibangun kiyai Achyat merupakan buah kesadaran ini. Sebab, Jumhur warga NU adalah petani. Dimana laku kesehariannya melekat dengan bercocok tanam atau berkebun.
Dengan bibit-bibit kelapa itu pula, komunikasi menemukan basis materialnya yang jelas dan kasat mata. Artinya, persentuhan NU dengan warganya tak dirasakan sebatas “tahlilan” atau “pengajian” semata tanpa menyentuh aspek fundamental lain, yang sebenarnya NU diharapkan tampil sebagai problem solver.
Di sisi lain, secara tak langsung upaya kiyai Achyat adalah teladan dalam medidik tanggung jawab dan agar peka terhadap pelestarian lingkungan. Beliau menyadari bahwa pohon kelapa dapat terwariskan pada generasi berikutnya. Ini merupakan sebentuk model kemandirian ekonomi berkelanjutan.
Kita sekarang sebenarnya ditabrakkan dengan masifnya sistem ekonomi “neoliberal” yang ekstraktif. Berwajah monster tak ramah lingkungan. Sudah banyak mengakibatkan kerusakan alam. Adapun upaya yang dilakukan kiyai Achyat dapat dijadikan titik balik untuk ditafsiri kembali dalam konteks kekinian.
Hal ini mengingat manusia sudah masyhur memiliki tupoksi sebagai khalifah fil ardl, bukan?
Kontributor: Sholehuddin
Foto: KH. Achyat Chalimi (Internet)
Tinggalkan Balasan