KH Hasan Abdul Wafi adalah sosok ulama yang sangat mencintai organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Di organisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari ini beliau berjuang dengan gigih hingga akhir hayat.
Tepatnya di Desa Sumber Anyar, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, KH Hasan Abdul Wafi dilahirkan. Beliau adalah putera bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Kiai Miftahul Arifin dengan Nyai Latifah. Enam saudara Kiai Hasan adalah Nyai Atiyah sebagai kakak tertua, KH. Ahmad Sayuti, KH. Masduqi, KH. Syarqowi, KH. Zainullah, dan KH. Achmad Sufyan Miftahul Arifin.
KH Hasan Abdul Wafi lahir pada tahun 1923 M. Oleh masyarakat madura beliau biasa dipanggil Kiai Abdul Wafi. Namun panggilan itu kemudian diganti dengan panggilan Kiai Hasan ketika beliau datang dari tanah suci Makkah.
Kiai Hasan Abdul Wafi semasa hidupnya aktif berjuang dan mengabdikan diri di NU. Aktifnya beliau di organisasi yang didirikan oleh hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari ini bermula dari petunjuk Kiai Zaini Mun’im, pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, yang tak lain adalah guru dan sekaligus juga mertua beliau.
Kiai Hasan Abdul Wafi ditemani saudara iparnya, KH. Abd. Wahid Zaini, SH sempat menjadi pucuk pimpinan Pengurus Cabang NU (PCNU) Kraksaan. Saat itu, Kiai Hasan dipercaya sebagai Rois Syuriyah PCNU Kraksaan dalam dua periode. Sementara Kiai Wahid, setelah menjadi ketua Tanfidiziyah PCNU Kraksaan, beliau diangkat menjadi pengurus PWNU hingga PBNU.
Jauh sebelum itu, Kiai Hasan mengawali kiprah perjuangannya sebagai Rois Syuriyah Majelis Wakil Cabang (MWC) Paiton. Di bawah kepemimpinan Kiai Hasan, MWC NU Paiton pernah mendapat gelar terbaik dari 12 MWCNU yang ada. Prestasi ini karena kontinyuitas program pengajian kitab klasik yang dilaksanakan diranting-ranting dan MWCNU Paiton.
Pada masa kepemimpinan Kiai Hasan, pengurus MWCNU Paiton terkenal begitu solid. Rupanya ini salah satu keberhasilan dari rutinitas beliau yang tidak pernah jemu melakukan lawatan dan turun ke bawah (turba) kepada pengurus MWC dan Ranting, baik untuk membicarakan kemajuan NU atau sekadar hanya bersilaturahmi.
Dalam melakukan lawatan itu muncul ide-ide dari lingkaran pengurus demi memajukan NU. Tak luput pula permasalahan yang sedang dihadapi oleh MWC dan Ranting. Sebagai pucuk pimpinan NU ditingkat MWC beliau tak segan mencarikan solusi atas permasalahan yang sampai kehadapan beliau. Terlebih, jika permasalahan itu dialami oleh pengurus Ranting. Beliau akan meminta kepada pengurus MWC untuk membantu bersama-sama. Menurut beliau perhatian kepada pengurus Ranting mesti diutamakan. Sebab, Rantinglah yang berhadapan langsung dengan anggota. Ibarat sawah, ranting adalah sangatan (tempat masuknya air ke petak sawah), sementara MWC adalah saluran di atasnya.
Setelah di MWCNU Paiton, pada tahun 1971 beliau dipercaya sebagai Rois Syuriyah PCNU Kraksaan. Di PCNU Kraksaan, beliau mendapatkan patner kerja yang serasi, yaitu Bapak Rasyid sebagai ketua Tanfidziyah PC NU Kraksaan. Bukti keserasian antara keduanya seperti kesediannya untuk saling mengunjungi. Ketika sedang padat jam terbang maupun sedang lengang selalu menyempatkan diri.
Bapak Rayid amat sering ke dalem (rumah) Kiai Hasan. Begitu juga Kiai Hasan tak keberatan berkunjung ke rumah koleganya di PCNU, Bapak Rasyid.
Namun, Bapak Rasyid dibuatnya tidak nyaman jika Kiai Hasan bertamu kerumahnya. Sebab, meski mempunyai jabatan ketua Tanfidziyah PCNU Kraksaan, ia tetap merasa sebagai santrinya beliau. Mestinya dia yang harus mengunjungi sang guru, Kiai Hasan, seorang ulama yang dikenal alim Fiqih itu.
Atas kesediaan Kiai Hasan berkunjung ke rumahnya, Bapak Rasyid pernah berkata kepada Kiai Hasan, “Kiai, saya ini tidak pantas jika harus dikunjungi Kiai Hasan. Karena seorang Tanfidziyah adalah santri.” Mendengar perkataan ini, Kiai Hasan langsung menegur, “antara Tanfidziyah dan Syuriyah ini harus menyatu.” Demikian penuturan Kiai Hasan. Sebagai seorang ulama, beliau tidak merasa rendah diri untuk berkunjung kerumah koleganya demi kemajuan organisasi NU.
Kebiasaan menjalin silaturahmi kepada segenap pengurus NU kala beliau menjabat sebagai Rois Syuriyah terus beliau lakukan. Kebiasaan ini mentradisi dikalangan pengurus NU khususnya di wilayah Kraksaan. Hubungan antara sesama pengurus NU kala itu terkenal solid dan baik. Sehingga program kegiatan NU mudah dilaksanakan.
Sebagai Rois Syuriyah NU, Kiai Hasan juga terkenal disipilin dan gigih memajukan wawasan keagamaan, baik terhadap pengurus NU atau pada masyarakat. Jika datang ke kantor beliau datang lebih awal. Ini berpengaruh terhadap dinamika dalam tubuh NU. Untuk memajukan wawasan keagamaan, beliau mencetuskan program pengajian kitab disetiap Majelis Wakil Cabang (MWC) dengan cara bergiliran. Kiai yang memimpin pengajian adalah kiai-kiai yang dipilih oleh peserta pengajian, diantaranya adalah Kiai Badri dan Kiai Hasan sendiri. Pengajian kitab juga dilaksanakan di masjid-masjid. Adapun kitab yang kaji adalah kitab sulam as-safinah.
Selain getol memperjuangkan keagamaan masyarakat, Kiai Hasan juga tidak luput perhatiannya terhadap pendidikan. Beliau menganjurkan supaya materi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) diajarkan mulai tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT).
Dalam memimpin PCNU Kraksaan, Kiai Hasan selalu mengutamakan masyarakat. Sehingga, beliau akan marah jika NU mengadakan kegiatan tapi tidak merangkul masyarakat. Ini diharapkan agar NU bisa independen terhadap pemerintah dan NU bisa guyub dengan masyarakat. Sikap ini karena beliau mempunyai prinsip bahwa organisasi yang diperjuangkannya ini lahir dari rahim masyarakat.
Sikap Kiai Hasan tersebut juga bentuk rasa cinta pada NU. Beliau merupakan sosok ulama yang sangat mencintai NU. Demi cintanya pada NU, pernah suatu ketika kakak kandungnya, KH. Ach. Sufyan Miftahuk Arifin menganjurkannya agar menjadi mursyid (pembimbing), tapi Kiai Hasan menolak anjuran tersebut.
Menurut Kiai Hasan, selama memimpin NU, beliau tidak pernah menjadi Mursyid. “Biarkanlah saya NU saja, wirid-wiridnya, wirid NU saja,” demikian jawaban Kiai Hasan.
Soal kecintaan Kiai Hasan terhadap NU, juga diceritakan oleh H. Ali Aziz, Katib bagian Batsul Masail pada masa kepemimpinan Kiai Hasan. “Waktu itu ada orang Krucil menyampaikan kapada Kiai Hasan bahwa dia kurang begitu giat di NU. Kemudian oleh Kiai Hasan orang itu dianjurkan agar membaca wiridan NU…..NU….NU… setiap selesai sholat seratus kali. Beberapa hari kemudian, orang itu datang kepada Kiai Hasan dan mengaku bahwa dia cinta sekali dengan NU.”
Kecintaan terhadap NU ini, kemudian beliau tularkan kepada santri-santriny baik yang sudah jadi alumni mupun yang masih belajar di pesantren, Kiai Hasan selalu menganjurkan agar aktif berjuang di NU.
Setelah dua periode mengabdi di PCNU Kraksaan, selanjutnya pada tahun 1997, berdasarkan hasil Mukatamar Ploso, beliau dipercaya sebagai pengurus Syuriyah PWNU Jawa Timur. Tapi pengabdian dan perjuangan beliau di PWNU ini hanya bisa bertahan selama tiga tahun. Sebab ditahun 2000, penyakit paru-paru yang telah lama bersarang ditubuh beliau kambuh.
Meski demikian, semangat juang Kiai Hasan masih tetap berkobar. Meski dalam kondisi sakit berat beliau masih sering menghindari pangajian-pengajian, baik yang diadakan oleh NU, pemerintah maupun masyarakat. Namun karena penyakit paru-paru beliau tambah parah, hingga beliau menggunakan alat bantu pernafasan, akhirnya pada hari Rabu pukul 09,45 pagi, tanggal 31 Juli 2000 beliau wafat. Meninggalkan duka yang begitu dalam. Bukan hanya keluarga yang merasa kehilangan, tapi juga teman seperjuangan beliau, santri dan masyarakat.
Meski telah wafat namun nama beliau tetap direlung hati semua orang yang mengenalnya. Karena rasa cinta pada NU itu beliau juga menciptakan Sholawat Nahdliyah yang saat ini banyak di gubah oleh generasi penerus beliau.
Berikut showat Nahdliyah karya KH Hasan Abdul Wafi.
Allahumma Sholli ‘Ala Sayyidina Muhammadin, Shalatan Turogghibu Wa Tunassyitu, Wa Tuhammisu Bihal Jihada Li Ihyai Wa I’lai Dinil Islami, Wa Idzhari Sya’airihi ‘Ala Thoriqati Jam’iyyati Nahdlotil ‘Ulama Wa ‘Ala Alihi Wa Shohbihi Wa Sallim.
Allah, Allah, Allah, Allah, Tsabbit Wanshur Ahla Jam’iyyah, Jam’iyyah Nahdlotil ‘Ulama, Li’lai Kalimatillah.
“Ya Allah, limpahkan shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya, yang dengan berkah bacaan shalawat ini, jadikanlah kami senang, rajin, dan semangat dalam berjuang menghidupkan dan meninggikan agama Islam serta menampakkan syi’ar-syi’arnya menurut cara Jam’iyyah Nahdlatul Ulama”.
“Ya Allah, teguhkanlah pendirian dan berikanlah kemenangan bagi warga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin) untuk meninggikan Kalimatillah (agama Islam dan seluruh ajarannya)”.
Sumber : Majalah ALFIKR edisi XIV / Februari 2007
Penulis : H
Tinggalkan Balasan