Warisan Wali Songo dalam metode mendidik dan berdakwah yang diteruskan oleh Jam’iyah NU yang hari ini kita rasakan manfaatnya adalah terjaganya tradisi keagamaan. Tradisi keagamaan semacam Yasinan, Tahlilan, dan Shalawatan dan Khotmil Quran merupakan ciri khas dari Jam’iyah NU. Tradisi itu kemudian berkembang dan mengakar kuat.
Maka tak heran kata peneliti Eropa yang paling menguatkan Jam’iyah NU salah satunya adalah adanya perkumpulan yang dibungkus dengan tradisi keagamaannya itu. Perkumpulan mereka (warga NU) itulah letak kekuatannya. Karena, pada saat ada permasalahan dan problematika yang terjadi di masyarakat akan didiskusikan, bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikannya.
Selain itu, perkumpulan semacam itu juga ada nilai-nilai kesunnahan, yaitu menambah fadhilah amaliyah dzikir bersama dan juga menguatkan silaturrahim antar warga.
Tradisi Shlawethen-lahjah madura- berasal dari kata sholawatan. Istilah itu berkembang dalam tehnis pelaksanaannya bukan hanya difokuskan membaca shalawat saja, melainkan penekanannya pada rangkaian dzikir-dzikir pembacaan yang ada di tradisi tahlilan.
Tua dan muda membaur, menambah keakraban, yang muda menghormati dan yang tua menyayangi. Shlawethen benar-benar menjadi media terjaganya kesunnahan silaturrahim dan menjadi sarana untuk merawat tradisi Jam’iyah NU yang telah diwariskan oleh Wali Songo itu sebagai pembawa Islam rahmatan lil alamin.
Rangkaian Shlawethen diawali pembacaan tawasul, tahlil, dan doa, sesekali musyawaroh itu pun kalau ada sesuatu yang perlu di bahas, tapi lebih sering tidak ada musyawaroh, terakhir makan-makan. Sekilas acara seperti itu kelihatannya sepele, lalu apa manfaatnya kalau hanya seperti itu?
Tinggalkan Balasan